Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Orang Tua
Ayah
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin
Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar
dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum
Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra
Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath,
ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah
melalui cucu beliau Imam Husain.
Ibunda
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang
putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal
juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang.
Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor,
berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Silsilah
- Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah bin
- Abdullah bin
- Ali Nurul 'Alam
- Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
- Ahmad Jalaludin Khan bin
- Abdullah Khan bin
- Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
- Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
- Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
- Ali Kholi' Qosam bin
- Alawi Ats-Tsani bin
- Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
- Alawi Awwal bin
- Ubaidullah bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Isa Ar-Rumi bin
- Muhammad An-Naqib bin
- Ali Uradhi bin
- Ja'afar As-Sodiq bin
- Muhammad Al Baqir bin
- Ali Zainal 'Abidin bin
- Imam Hussain
- Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.
- Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
- Rara Santang
- Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
- Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
- Niskala Wastu Kancana @ Prabu Sliwangi I
- Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)
Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri
Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran
Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal
Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG
di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh
Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos)
menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas
dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di
tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat
belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi,
Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin
terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan
kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama
Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai
Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra
yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Perjalanan Hidup
Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual
dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar
agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana
saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah
karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk
umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur
Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan
menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya
wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau
menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari
pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan
Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba
masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil
karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan
nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama
dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam
Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari
pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu
yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa
bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal
state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang
pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan
Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan
disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga
1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah
karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan
Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur)
dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan
baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging
di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di
Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif
Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang
masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten,
Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia
Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri
Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di
tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih
tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama
Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai
Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis
bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang
Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan
yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat
dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga
Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan
tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon
menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam
serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas
dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam
Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai
mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten
segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan
banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu
persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam
pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat
adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada
tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh
hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para
Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk
Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua
adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima
opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka
inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota
pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke
3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke
2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran
Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para
Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan
hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang
diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa
seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat
telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar
keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara
Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi
negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya
karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan
Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil
beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.
diambil dari situs http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati

0 Comments